Di dunia pendidikan, kita sering kali mengukur keberhasilan belajar dari angka: nilai rapor, skor ujian nasional, IPK, atau kelulusan sertifikasi. Namun, apakah angka-angka itu benar-benar mencerminkan seberapa dalam seseorang memahami sesuatu?
Empat dekade lalu, dua peneliti pendidikan dari Swedia, Ference Marton dan Roger Säljö, mengguncang dunia akademik dengan sebuah pertanyaan mendasar: Mengapa dua orang yang membaca teks yang sama bisa memahami hal yang sangat berbeda? Penelitian mereka melahirkan konsep yang hingga kini menjadi fondasi dalam studi cara belajar: pembelajaran mendalam (deep learning) dan pembelajaran permukaan (surface learning).
Permukaan vs Kedalaman
Bayangkan dua siswa membaca artikel tentang reformasi pendidikan. Siswa pertama mengingat bahwa “pemerintah akan melakukan perubahan.” Sementara siswa kedua menangkap bahwa “reformasi tersebut diarahkan pada kelompok mahasiswa dengan tingkat kelulusan rendah, bukan kebijakan menyeluruh.” Keduanya membaca teks yang sama, namun makna yang mereka tangkap sangat berbeda.
Marton dan Säljö (1976) menyebut ini sebagai qualitative differences in learning outcomes, yaitu perbedaan kualitatif dalam hasil belajar yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan jumlah informasi yang diingat. Mereka menyimpulkan bahwa apa yang dipahami seseorang bukan semata-mata ditentukan oleh kecerdasannya, melainkan oleh bagaimana ia belajar.
Apa Itu Pembelajaran Mendalam?
Pembelajaran mendalam bukan sekadar “belajar lebih serius” atau “belajar lebih lama.” Ini adalah sebuah pendekatan yang ditandai dengan:
“Intention to understand, active interest and engagement, relating ideas, seeking meaning, and using evidence critically”
— McCune & Entwistle (2000, hlm. 3)
Pendekatan ini mendorong siswa untuk memahami hubungan antar konsep, membangun struktur pengetahuan sendiri, dan menyelami makna dari materi yang dipelajari. Sebaliknya, pembelajaran permukaan ditandai oleh upaya menghafal informasi secara mekanis demi memenuhi tuntutan ujian, tanpa pemahaman yang mendalam.
Marton dan Säljö (1976) menegaskan bahwa:
“In surface-level processing, the student directs attention towards learning the text itself (the sign)… In deep-level processing, the student is directed towards the intentional content of the learning material (what is signified)”
Mengapa Ini Penting?
Penelitian-penelitian lanjutan menunjukkan bahwa pendekatan belajar memiliki dampak langsung pada kualitas hasil belajar. Siswa yang menggunakan pendekatan mendalam cenderung memperoleh pemahaman konseptual yang lebih baik, mampu berpikir kritis, dan lebih tahan terhadap lupa dalam jangka panjang.
Dalam studi McCune (2000), mahasiswa tahun pertama yang menunjukkan minat dan upaya memahami materi secara mendalam menunjukkan kinerja akademik lebih tinggi dan pengembangan pribadi yang lebih baik, dibandingkan dengan mereka yang belajar hanya untuk “lulus tugas”.
Entwistle (2000) menyatakan:
“Deep learning requires an intention to seek meaning for oneself, not just to cope with tasks… It is fostered when assessment emphasizes understanding rather than reproduction”
Namun, ironisnya, banyak sistem pendidikan — termasuk di Indonesia — justru mendorong pembelajaran permukaan. Ujian pilihan ganda, kurikulum yang padat, serta tekanan kelulusan sering kali membuat siswa terjebak dalam rutinitas belajar untuk nilai, bukan untuk makna.
Mendorong Pembelajaran Mendalam
Lalu, bagaimana pembelajaran mendalam bisa ditumbuhkan?
Pertama, dengan menciptakan lingkungan belajar yang mendukung eksplorasi makna. Ini meliputi ruang diskusi, tugas terbuka, proyek lintas bidang, hingga refleksi personal.
Kedua, dengan merancang penilaian yang menuntut pemahaman, seperti esai analitis, studi kasus, atau presentasi ide.
Ketiga, guru perlu beralih dari sekadar penyampai materi menjadi fasilitator pemahaman. Seperti disampaikan oleh Entwistle & Ramsden (1983):
“Students’ approach to learning is shaped by their perceptions of the demands of the task and how teaching supports or hinders their engagement”
Guru yang menekankan penalaran, makna, dan pengaitan antarkonsep akan lebih berhasil menumbuhkan pembelajaran mendalam dibanding guru yang menekankan hafalan dan ketepatan isi belaka.
Bukan Hanya Urusan Siswa
Penting untuk diingat bahwa deep learning bukanlah karakteristik siswa tertentu. Ia bukan bawaan lahir atau bakat. Ia adalah hasil dari interaksi antara siswa dan konteks pembelajaran. Karena itu, tugas kita sebagai pendidik dan pembuat kebijakan adalah menciptakan sistem pembelajaran yang memungkinkan pendekatan ini tumbuh subur.
Penelitian Entwistle (2000) menunjukkan bahwa pendekatan belajar yang dalam muncul lebih kuat ketika:
- Materi pembelajaran disajikan secara terstruktur dan relevan
- Tugas-tugas menuntut integrasi ide, bukan hanya mengulang isi
- Penilaian memberi bobot pada pemahaman dan orisinalitas
- Siswa merasa aman untuk bereksplorasi dan berpendapat
Penutup: Belajar untuk Memahami
Konsep pembelajaran mendalam mengajarkan kita bahwa esensi belajar bukan terletak pada seberapa banyak informasi yang diingat, tapi seberapa dalam seseorang memahami dunia melalui informasi itu. Seperti dikatakan Marton dan Booth (1997):
“Learning is not simply the accumulation of information. It is a change in the way we experience the world”
Di tengah derasnya arus informasi, tantangan kita bukan lagi mengakses pengetahuan, tetapi mengubah pengetahuan menjadi pemahaman. Dan untuk itu, kita harus berani mengubah cara kita belajar, mengajar, dan menilai.
Daftar Pustaka
Entwistle, N. (2000). Promoting deep learning through teaching and assessment: Conceptual frameworks and educational contexts. Paper presented at the TLRP Conference, Leicester, November 2000.
Entwistle, N., & Ramsden, P. (1983). Understanding student learning. London: Croom Helm.
Marton, F., & Booth, S. (1997). Learning and awareness. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Marton, F., & Säljö, R. (1976). On qualitative differences in learning: I—Outcome and process. British Journal of Educational Psychology, 46(1), 4–11. https://doi.org/10.1111/j.2044-8279.1976.tb02980.x Marton, F., & Säljö, R. (1997). Approaches to learning. In F. Marton, D. Hounsell, & N. Entwistle (Eds.), The experience of learning (2nd ed., pp. 39–58). Edinburgh: Scottish Academic Press.
McCune, V., & Entwistle, N. (2000). The deep approach to learning: Analytic abstraction and idiosyncratic development. Paper presented at the Innovations in Higher Education Conference, Helsinki, Finland.
Transformasi pendidikan dimulai dari kita. Sahabatnya siswa dalam belajar.
