Terbitnya Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah membuka kembali jalur seleksi dan pelatihan calon kepala sekolah di luar Program Guru Penggerak (PGP). Kebijakan ini seolah mengembalikan sistem ke era sebelum tahun 2020, ketika Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LP2KS) berperan sentral melalui model seleksi, diklat, dan sertifikasi yang ketat. Maka, tidak berlebihan jika muncul pertanyaan: apakah kita sedang kembali ke model lama?
Sebelum hadirnya PGP, LP2KS melaksanakan pelatihan calon kepala sekolah berdasarkan Permendiknas No. 28 Tahun 2010. Model ini mensyaratkan seleksi administrasi dan akademik, pelatihan 70 jam pelajaran, on the job learning selama tiga bulan, dan penilaian portofolio yang cukup ketat. Sertifikat yang diterbitkan LP2KS menjadi dasar formal penugasan guru sebagai kepala sekolah oleh pemerintah daerah. Dari sisi substansi, model ini menekankan kepemimpinan manajerial dan administratif.
Namun, sejak 2020, pemerintah mengganti pola itu dengan Program Guru Penggerak yang berorientasi pada kepemimpinan pembelajaran. Guru Penggerak disiapkan selama sembilan bulan dengan pendekatan reflektif, kolaboratif, dan berbasis ekosistem. Kepala sekolah diposisikan sebagai pemimpin transformatif yang mendorong pembelajaran merdeka. Inilah paradigma baru yang dipelopori Mendikbudristek Nadiem Makarim, sekaligus menandai bergesernya fokus dari manajerial ke pembelajaran.
Kini, dengan hadirnya Permendikdasmen 7/2025, model PGP tidak lagi menjadi satu-satunya jalur penugasan kepala sekolah. Guru cukup mengikuti seleksi administratif, lulus pelatihan calon kepala sekolah yang diselenggarakan Kementerian melalui UPT, lalu ditugaskan oleh pejabat pembina kepegawaian daerah. Dengan demikian, meski tidak identik, struktur ini memiliki kemiripan dengan pola LP2KS sebelumnya.
Perubahan ini memang membuka ruang lebih luas dan adil bagi guru, termasuk guru PPPK, untuk mengembangkan karier kepemimpinan. Ini selaras dengan prinsip meritokrasi dalam teori manajemen sumber daya manusia (Armstrong, 2006). Namun, dalam perspektif transformational leadership (Leithwood & Jantzi, 2000), tantangannya adalah bagaimana memastikan pelatihan singkat ini cukup membekali kepala sekolah untuk menginspirasi, membangun visi, dan memimpin ekosistem belajar yang sehat.
Pelimpahan pelaksanaan kepada daerah juga mengandung risiko disparitas. Dalam administrasi pendidikan (Hoy & Miskel, 2013), kebijakan tanpa pengawasan mutu yang kuat rentan melahirkan praktik birokratis dan patronase. Kepala sekolah bisa kembali dipilih karena “kedekatan”, bukan kompetensi.
Jika kita hendak menjadikan kebijakan ini sebagai ruang akselerasi, maka seluruh aktor pendidikan harus terlibat aktif: guru membangun kesiapan, pemerintah menjamin kualitas pelatihan, dan masyarakat ikut mengawasi transparansi proses. Kepala sekolah bukanlah jabatan administratif belaka, melainkan pemimpin utama dalam transformasi mutu pendidikan.
Arah kebijakan ini mungkin kembali ke pola lama dalam hal struktur, tetapi kualitasnya tidak boleh kembali ke titik awal. Kita butuh model baru yang menyerap ketegasan seleksi LP2KS sekaligus semangat pembelajaran transformatif ala Guru Penggerak. Jalan tengah inilah yang seharusnya kita tuju bersama.
Transformasi pendidikan dimulai dari kita. Sahabatnya siswa dalam belajar.
