Gambar ini dibuat dengan Gemini AI

Ketika ChatGPT Masuk Kelas Geografi: Dilema Baru Kampus di Era Mesin Pengarang

Pada suatu pagi di Madison, Amerika Serikat, para pengajar Geografi 101 di Universitas Wisconsin mendapati sesuatu yang janggal. Jawaban kuis para mahasiswa—rata-rata mahasiswa baru—mendadak tampil rapi, mulus, dan berirama seperti brosur teknologi. Nada optimistis. Struktur lima paragraf bak esai standar lomba menulis. Semuanya mirip. Terlalu mirip.

“Ini bukan suara mereka,” gumam seorang asisten dosen. “Ini suara… mesin.”

Musim itu adalah 2023, tahun ketika ChatGPT mulai merayap ke ruang-ruang kelas tanpa mengetuk pintu. Dan sejak saat itu, drama kecil tentang siapa yang sebenarnya menulis tugas kuliah menjadi persoalan pedagogis yang memaksa dosen geografi bertransformasi dari pendidik menjadi detektif—atau polisi akademik.

Ketika Mesin Menggantikan Suara Mahasiswa

Geografi 101 bukan kelas kecil. Setiap semester 160–200 mahasiswa duduk di auditorium besar, sebagian besar bukan mahasiswa geografi. Kursus ini wajib bagi kemampuan menulis akademik, sehingga tulisannya harus murni dari tangan mahasiswa sendiri.

Namun ChatGPT membawa satu persoalan baru:
Bagaimana mengajarkan keterampilan menulis di tengah munculnya perangkat yang bisa menulis jauh lebih cepat dari manusia?

Para dosen mencoba berbagai pendekatan:

  • Ada yang mencoba “AI-proof question”—pertanyaan yang diharapkan tak mampu dijawab mesin.
  • Ada yang kembali ke ujian esai manual, menulis dengan tangan, seperti era sebelum internet.
  • Ada pula yang mencoba melarang total penggunaan AI.

Namun tak ada yang benar-benar ampuh. Seperti air, AI selalu mencari celah.

Antara Etika, Ekstraktivisme, dan Kapitalisme Kampus

Alih-alih sibuk menilang mahasiswa, para pengajar kemudian melihat isu yang jauh lebih besar: AI bukan cuma soal plagiarisme. Ini soal bagaimana dunia bekerja.

Dalam kuliah geografi digital yang mereka kembangkan, AI dikaitkan dengan:

  • Ekstraksi mineral untuk server dan chip,
  • Konsumsi energi dan air yang masif,
  • Ghost workers di Global South yang membayar harga di balik “kecerdasan” mesin.

ChatGPT, ternyata, bukan hanya software yang pintar merangkai kata. Ia juga jejak kolonialisme baru: memakan data publik, memeras tenaga kerja murah, dan menggerus batas-batas etika akademik.

“Kalau kita bicara geografi manusia,” kata sang dosen, “maka kita juga harus bicara siapa yang bekerja untuk AI, dan siapa yang diuntungkan.”

Beginilah AI menjadi pintu masuk pembahasan kolonialisme, tenaga kerja global, hingga politik universitas neoliberal yang semakin mendorong mahasiswa menjadi konsumen, bukan pembelajar.

Mencari Kembali Nilai Tulis-Menulis

Akibat tekanan teknologi, para dosen membuat eksperimen baru:
membawa kembali tugas-tugas yang membangkitkan suara pribadi mahasiswa.

Tugas Writing Place, misalnya, meminta mahasiswa menulis tentang tempat yang bermakna bagi mereka. Hasilnya mengejutkan. Mahasiswa menemukan kembali kenangan pada kabin, taman, atau halte bus masa kecil. Suaranya jujur. Kadang canggung. Tapi manusiawi.

Di sinilah para pengajar kembali percaya:
Manusia menulis dengan emosi. Mesin tidak.

Namun ketika beralih ke tugas penelitian—yang lebih struktural—beberapa mahasiswa kembali ke jalan pintas. Terlihat dari tulisan yang hambar, seragam, dan minim sintesis. “Ini seperti membaca suara mesin yang lelah,” ujar seorang asisten dosen.

Dari Polisi AI Menjadi Pendamping Proses

Para pengajar akhirnya menyadari sesuatu:
Mengejar AI sama sia-sianya dengan mengejar bayangan sendiri.

Mereka berhenti menjadi polisi.
Sebagai gantinya, mahasiswa yang diduga menggunakan AI diajak berdialog:
Bagaimana prosesmu menulis? Apa yang kamu pahami dari bacaan?

Banyak kasus berakhir dengan klarifikasi: mahasiswa memang menulis sendiri, hanya belum sepenuhnya paham cara mensintesis bacaan. Yang disangka “suara AI” ternyata cuma “suara bingung”.

Di sini AI mengungkap sesuatu yang lebih mendasar:
bukan sekadar kemalasan, tapi ketimpangan kemampuan menulis dan membaca yang jarang dibicarakan di kampus besar.

Manusia, Mesin, dan Masa Depan Geografi

Para pengajar geografi akhirnya sepakat:
AI adalah geografi baru—peta kekuasaan, tenaga kerja, dan materi yang membentuk dunia pengetahuan.

Mereka tidak hendak melarangnya secara membabi-buta.
Namun mereka menolak menyerahkan proses berpikir kepada mesin.

Mereka percaya bahwa tugas pengajar bukan mencetak esai sempurna,
melainkan mengasah nalar, sensitivitas, dan empati—hal-hal yang tak dapat ditulis algoritma.

Seorang dosen menutup kelasnya dengan pertanyaan yang menggelitik:
“Jika geografi mempelajari apa artinya menjadi manusia di ruang tertentu, maka apa artinya menjadi manusia ketika menulis bersama mesin?”

Pertanyaan itu belum dijawab.
Mungkin memang tak perlu dijawab sekarang.
Tetapi inilah percakapan penting yang harus terus hidup—di kelas geografi, di ruang dosen, bahkan di ruang sidang universitas—karena masa depan pendidikan kini tak lagi menunggu di horizon.

Ia sudah duduk di meja kita.
Mengetik. Tanpa lelah. Tanpa suara.

Sumber:

Gerlowski, L., Ramachandran, V., & Loyd, J. M. (2025). Whither Chat-GPT: Generative AI and Teaching Introduction to Human Geography in Higher Education. Journal of Geography, 1–7. https://doi.org/10.1080/00221341.2025.2575513

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *