Pendidikan kejuruan di berbagai negara maju telah lama menjadikan dunia industri sebagai ruang belajar utama bagi siswa dan mahasiswa. Beragam pendekatan dikembangkan untuk memastikan lulusan siap menghadapi tuntutan dunia kerja. Dua di antaranya, yakni Teaching in the Factory (TIF) dan Learning Factory (LF), menjadi rujukan karena terbukti mampu menghasilkan tenaga kerja kompeten dan profesional. Indonesia pun memiliki Teaching Factory di SMK yang secara konsep sejalan, meskipun implementasinya masih perlu banyak penguatan.
Belajar dari Dunia
Teaching in the Factory yang dikembangkan Teng, Schreiner, dan Nelson (2001) di Amerika Serikat, mengintegrasikan mahasiswa teknik ke dalam proyek-proyek nyata di industri. Berbeda dengan magang konvensional, mahasiswa dalam program ini bertugas menyelesaikan proyek industri dalam tim, didampingi dosen dan supervisor perusahaan. Mereka memulai dengan proposal, melaksanakan proyek, hingga presentasi hasil di hadapan manajemen perusahaan.
Manfaatnya tidak hanya pada aspek teknis. Mahasiswa juga terlatih memecahkan masalah riil, mengasah kemampuan komunikasi, kepemimpinan, kerja tim, hingga negosiasi. Keterampilan ini sulit dicapai melalui pembelajaran di ruang kelas atau laboratorium konvensional.
Sementara itu, Learning Factory yang diperkenalkan Lamancusa dkk. (2008), memadukan pembelajaran teori dan praktik di fasilitas kampus yang menyerupai pabrik. Mahasiswa bekerja dalam proyek lintas jurusan yang berasal dari permintaan industri. Proyek tersebut dirancang, diproduksi, dan diuji di fasilitas kampus yang dikelola bersama mitra industri. Selain mengasah keterampilan teknis, mahasiswa juga belajar manajemen produksi, kewirausahaan, dan pelayanan pelanggan.
Penerapan di Indonesia
Indonesia sejatinya telah mengadopsi model serupa melalui Teaching Factory di SMK, sesuai panduan Direktorat SMK Kemdikbudristek. Konsepnya menempatkan siswa sebagai pelaku produksi atau jasa nyata, berbasis pesanan industri, dan dikelola sesuai standar industri. Hasil produksi dapat dijual kepada masyarakat, sehingga pembelajaran lebih kontekstual.
Namun, di lapangan masih banyak Teaching Factory yang sebatas unit produksi di sekolah, belum sepenuhnya bermitra aktif dengan industri. Proyek yang dikerjakan kadang masih simulasi internal, belum proyek riil dari dunia usaha.
Jika merujuk Teaching in the Factory, seharusnya siswa SMK diberi kesempatan menyelesaikan proyek riil di industri, bukan sekadar magang observasi. Siswa dapat bergabung dalam tim produksi, menangani pesanan pelanggan, hingga terlibat dalam proses evaluasi hasil kerja.
Demikian pula, Learning Factory dapat diadopsi SMK dengan mengembangkan Teaching Factory berbasis fasilitas produksi di sekolah yang dikelola profesional. Siswa lintas jurusan bisa bekerja sama dalam satu proyek. Jurusan teknik mesin, otomotif, dan listrik membuat produk, jurusan pemasaran mengelola penjualan, sementara jurusan akuntansi menangani laporan keuangan. Proyek berasal dari permintaan masyarakat atau industri mitra.
Manfaat Strategis
Konsep ini tidak sekadar melatih keterampilan teknis, tetapi juga membangun soft skills yang sangat dibutuhkan di dunia kerja: komunikasi efektif, kolaborasi lintas divisi, problem solving, dan adaptasi budaya kerja profesional. Teng et al. (2001) menyatakan, lulusan yang terlibat proyek riil industri memiliki kepercayaan diri, keterampilan interpersonal, dan pengalaman manajerial lebih baik dibanding mahasiswa yang hanya belajar teori.
Di Indonesia, beberapa SMK pelaksana Teaching Factory menunjukkan hasil serupa. Siswa terbiasa dengan budaya kerja industri, target produksi, standar kualitas, hingga pelayanan pelanggan. Beberapa unit produksi SMK bahkan telah mampu memenuhi pesanan masyarakat.
Langkah Lanjutan
Agar Teaching Factory di SMK setara dengan Teaching in the Factory dan Learning Factory, beberapa hal perlu diperkuat. Pertama, kemitraan aktif dengan industri, bukan hanya PKL atau MoU seremonial, melainkan kerja sama proyek nyata yang melibatkan siswa.
Kedua, mendorong kolaborasi siswa lintas jurusan dalam proyek Teaching Factory, sehingga mereka terbiasa bekerja dalam tim multidisipliner, sebagaimana di dunia kerja sesungguhnya.
Ketiga, pemanfaatan platform digital untuk monitoring proyek, sebagaimana diterapkan di Teaching in the Factory. Sistem daring memungkinkan pengawasan progres, dokumentasi aktivitas, hingga evaluasi hasil lebih sistematis.
Keempat, penyusunan kurikulum adaptif yang memungkinkan sebagian jam pelajaran dialihkan untuk proyek Teaching Factory.
Kelima, pelatihan guru agar berperan sebagai mentor profesional, bukan sekadar pengajar teori. Guru harus mampu membimbing siswa dalam menyelesaikan proyek, berinteraksi dengan pelanggan, hingga menyelesaikan konflik kerja.
Penutup
Dunia kerja menuntut lulusan yang tidak hanya cakap teknis, tetapi juga memiliki mental pekerja profesional. Pengalaman menangani proyek industri riil adalah cara terbaik menanamkan hal itu. Seperti diingatkan Teng et al., “The only source of knowledge is experience.”
Kini saatnya SMK Indonesia bertransformasi dari sekadar lembaga pendidikan menjadi pusat produksi berbasis kemitraan industri. Teaching Factory bukan hanya program, melainkan masa depan pendidikan kejuruan Indonesia.
Referensi:
Lamancusa, J., J. Zayas, A. Soyster, L. Morell, and J. Jorgensen. 2008. “The Learning Factory: Industry-Partnered Active Learning.” Journal of Engineering Education 97 (1): 5–12. https://doi.org/10.1002/j.2168-9830.2008.tb00949.x.
Teng, S. Gary, Schreiner, Steven, and J. Byron Nelson. “Teaching in the Factory: Connecting Industry to Engineering Education.” Industry & Higher Education 15, no. 5 (October 01, 2001): 353-59
Transformasi pendidikan dimulai dari kita. Sahabatnya siswa dalam belajar.