Fieldwork ini dilakukan di Desa Tarungin, Kecamatan Hatungun, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan

Menyusuri Jejak Fieldwork: Menghidupkan Geografi di Lapangan

Di ruang kelas, geografi kerap hadir lewat peta, grafik, dan angka-angka. Namun, denyut sejatinya justru terasa di luar ruangan: di jalan berdebu, di tepi sungai, di tengah keramaian pasar, atau di lereng gunung. Itulah medan fieldwork—kerja lapangan—yang sejak masa Herodotus hingga Humboldt menjadi denyut nadi lahirnya ilmu geografi.

Dari Ekspedisi ke Kritik

Pada abad ke-19, fieldwork identik dengan ekspedisi panjang. Catatan pengelana yang menyeberangi samudra melahirkan deskripsi topografi dan etnografi. Geografi tumbuh bersama kolonialisme—mengukur tanah baru, mencatat tumbuhan, bahkan mengklasifikasi manusia.

Namun, tradisi ini tak bebas dari kritik. Feminist dan postkolonial geografer mengingatkan: kerja lapangan bukan sekadar “mencatat objektif.” Siapa yang mencatat, dari posisi apa, dan kepada siapa pengetahuan itu ditujukan, semua memengaruhi hasilnya. Di sinilah konsep politics of location muncul: kesadaran bahwa pengetahuan selalu lahir dari relasi kuasa.

Teknologi: Berkah atau Ancaman?

Memasuki abad digital, fieldwork berhadapan dengan tantangan baru. Transportasi cepat, rekaman audio-visual, GIS, citra satelit, hingga big data menawarkan cara instan membaca ruang. Ada yang khawatir kerja lapangan hanya tinggal pelengkap—sekadar “ground truthing” data jarak jauh.

Padahal, interaksi langsung dengan masyarakat dan lanskap lokal menghasilkan pengetahuan yang tak tergantikan. Angka dari satelit mungkin menceritakan suhu kota, tapi hanya obrolan dengan warga yang membuka kisah tentang betapa teriknya panas siang memengaruhi kehidupan sehari-hari.

Pedagogi Khas Geografi

Di ruang pendidikan, fieldwork mendapat predikat istimewa: signature pedagogy. Ia bukan sekadar metode belajar, melainkan jati diri cara berpikir seorang geografer.

Dulu, siswa dilatih membuat sketsa lapangan dan mengukur kontur tanah. Kini, proyek inkuiri dan teknologi digital ikut mewarnai. Tetapi esensi fieldwork tetap sama: menghubungkan teori dengan pengalaman, melatih observasi kritis, sekaligus menumbuhkan empati pada ruang dan masyarakat.

“Pemahaman mendalam adalah persatuan pikiran, emosi, dan pengetahuan indrawi,” tulis seorang peneliti. Singkatnya, fieldwork mengajak kita belajar dengan kaki yang melangkah, mata yang awas, dan hati yang tergerak.

Tetap Relevan

Di tengah arus digitalisasi pendidikan, fieldwork tetap tegak sebagai jangkar geografi. Ia mengingatkan bahwa ruang bukan sekadar data, melainkan pengalaman hidup. Geografi tanpa kerja lapangan ibarat tubuh tanpa napas: ada bentuknya, tapi kehilangan denyut kehidupan.

Referensi

Seow, T. (2024). Fieldwork in Geography. In: Warf, B. (eds) The Encyclopedia of Human Geography. Springer, Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-031-25900-5_132-1

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *