Transformasi Pendidikan Dimulai dari Guru
Tatkala Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia menerbitkan Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, gema reformasi pendidikan kembali menggema dari ruang-ruang kelas. Regulasi ini bukan sekadar memutakhirkan aturan lama, tetapi juga menegaskan posisi guru sebagai poros dari peningkatan kualitas pembelajaran, karakter, dan minat bakat siswa. Namun, perubahan ini hanya akan bermakna jika dibarengi dengan pemahaman utuh tentang siapa guru itu dan bagaimana pekerjaan mereka dimaknai dalam wacana pendidikan global.
Dari Beban ke Makna Kerja
Permendikdasmen ini menetapkan bahwa guru wajib menjalani beban kerja 37 jam 30 menit per minggu, tidak termasuk istirahat. Porsi tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan, penilaian, pembimbingan, serta tugas tambahan yang melekat.
Jika ditilik secara filosofis, pendekatan ini mendekati kerangka kerja Reflective Practitioner dari Donald Schön. Ia menegaskan bahwa profesional seperti guru bukan hanya eksekutor kurikulum, melainkan pelaku reflektif yang menganalisis tindakannya untuk meningkatkan kinerja. Maka, waktu bukan hanya diukur secara kuantitatif, tapi harus dihargai secara kualitatif: seberapa dalam guru memahami, merancang, dan merefleksikan pembelajaran.
Peran Guru Tak Lagi Tunggal
Peraturan ini memberi pengakuan eksplisit terhadap beragam tugas guru, termasuk wali kelas, pembina OSIS, pembimbing khusus, hingga koordinator projek. Dalam perspektif internasional, gagasan ini sejalan dengan Teacher Leadership Model yang berkembang di negara-negara seperti Kanada dan Australia, di mana guru tidak hanya pengajar tetapi juga pemimpin pembelajaran di komunitas sekolahnya (York-Barr & Duke, 2004).
Namun, pengakuan itu harus diikuti dengan legitimasi profesional dan keseimbangan beban. Ketika guru diminta menjadi fasilitator projek, pelatih ekstrakurikuler, sekaligus pelindung anak, maka kita harus memastikan bahwa kapasitas, pelatihan, dan penghargaan juga bertumbuh setara.
Keseimbangan Peran dan Kesejahteraan
Dalam studi UNESCO-IBE (2020), beban administratif yang tinggi disebut sebagai salah satu faktor utama kelelahan guru (teacher burnout). Beban kerja yang luas sebagaimana dalam Permendikdasmen ini dapat membuka peluang peningkatan kualitas pendidikan, tetapi juga menyimpan potensi risiko penumpukan stres, khususnya jika ekosistem pendukungnya—seperti pelatihan, penghargaan, dan supervisi profesional—tidak dihadirkan.
Di Finlandia, misalnya, guru diberi otonomi tinggi, namun jumlah jam mengajarnya tergolong rendah (sekitar 20 jam per minggu). Selebihnya digunakan untuk pengembangan profesional dan kolaborasi. Sebaliknya, beban kerja di Indonesia yang kini semakin rinci harus dibarengi dengan pelindungan hak kerja yang manusiawi dan peluang aktualisasi diri guru.
Guru sebagai Agen Perubahan Sosial
Permendikdasmen ini juga menempatkan guru sebagai penggerak karakter dan perlindungan murid. Tugas-tugas seperti menjadi pengurus satuan tugas perlindungan tenaga pendidik atau pembina karakter sejatinya memosisikan guru sebagai agen transformasi sosial. Teori Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa guru harus menjadi pembebas, bukan penjinak. Beban kerja yang memasukkan tugas-tugas sosial seperti ini perlu dipahami sebagai langkah menuju pendidikan yang humanistik.
Namun, Freire juga mengingatkan pentingnya dialog antara guru dan murid. Jika beban guru terlalu administratif atau terlalu banyak peran, maka ruang untuk membangun dialog otentik bisa hilang. Beban kerja tidak boleh menjauhkan guru dari murid.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Permendikdasmen Nomor 11/2025 juga membuka ruang penugasan lintas satuan pendidikan oleh Dinas. Di satu sisi, ini menjadi solusi atas distribusi guru yang timpang. Namun, dari sisi manajemen kepegawaian, pelaksanaan tugas ini membutuhkan sistem pemetaan dan pendataan digital yang akurat.
Di sinilah teknologi pendidikan memainkan peran penting. John Hattie dalam Visible Learning menyatakan bahwa efektivitas guru adalah prediktor utama keberhasilan siswa. Maka, sistem penugasan dan redistribusi guru harus berdasarkan data mutu dan kebutuhan pembelajaran, bukan sekadar angka kekurangan tenaga.
Kontekstualisasi Budaya Kerja Guru di Indonesia
Realitas pendidikan Indonesia begitu kompleks. Guru di pedalaman menghadapi keterbatasan akses, sementara guru di kota besar dihimpit beban administratif dan tekanan nilai ujian. Permendikdasmen ini mencoba menyeragamkan beban kerja, namun belum tentu semua guru mampu menjalankan dengan adil dan seimbang.
Menurut Hofstede, budaya kerja di Indonesia cenderung power distance tinggi dan collectivism. Ini berarti keputusan atas beban kerja seringkali tidak dinegosiasikan, tetapi diperintah dari atas. Untuk itu, perlu pendekatan yang lebih kolaboratif dan adaptif, agar kebijakan ini benar-benar menguatkan, bukan membebani.
Rekomendasi dan Jalan ke Depan
- Pemerataan Tugas dan Pelatihan: Setiap penambahan tugas tambahan harus diimbangi dengan pelatihan profesional. Misalnya, pembina OSIS atau fasilitator projek harus dibekali modul dan sertifikasi.
- Desentralisasi Pengambilan Keputusan: Kepala sekolah harus diberi ruang untuk merancang distribusi tugas guru berdasarkan konteks lokal, dengan tetap mengacu pada peraturan pusat.
- Integrasi Penilaian Kinerja dengan Beban Kerja: Sistem penilaian kinerja guru (SKP) perlu diselaraskan dengan ekivalensi beban kerja agar penilaian tidak sekadar administratif.
- Kebijakan Afirmasi Wilayah 3T: Guru yang bekerja di daerah tertinggal harus diberikan relaksasi tertentu dalam beban kerja, dengan dukungan afirmatif dari pemerintah.
Penutup: Guru adalah Investasi Peradaban
Akhirnya, keberhasilan kebijakan ini bukan diukur dari berapa banyak jam kerja terpenuhi, tetapi sejauh mana guru mampu mendampingi siswa tumbuh dalam karakter, pengetahuan, dan empati. Dalam bahasa Hargreaves & Fullan (2012), the moral purpose of teaching is not only to help students succeed but to help them become good people.
Beban kerja bukan sekadar angka. Ia adalah narasi tentang penghormatan kita pada profesi guru. Maka, Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025 perlu dilihat sebagai peluang emas untuk menata ulang wajah pendidikan Indonesia. Namun, peluang ini hanya akan menjadi kenyataan jika para guru didengar, dilindungi, dan diberdayakan.
Daftar Pustaka:
- Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 11 Tahun 2025 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru.
- Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
- Hargreaves, A., & Fullan, M. (2012). Professional Capital: Transforming Teaching in Every School. New York: Teachers College Press.
- Hattie, J. (2009). Visible Learning: A Synthesis of Over 800 Meta-Analyses Relating to Achievement. London: Routledge.
- Hofstede, G. (2011). Dimensionalizing Cultures: The Hofstede Model in Context. Online Readings in Psychology and Culture, 2(1). https://doi.org/10.9707/2307-0919.1014
- OECD. (2019). TALIS 2018 Results: Teachers and School Leaders as Lifelong Learners (Volume I). Paris: OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/1d0bc92a-en
- Schön, D. A. (1983). The Reflective Practitioner: How Professionals Think in Action. New York: Basic Books.
- UNESCO-IBE. (2020). Teacher Policy Development Guide (Second Edition): Developing coherent teacher policies in Africa. Geneva: UNESCO International Bureau of Education.
- York-Barr, J., & Duke, K. (2004). What Do We Know About Teacher Leadership? Review of Educational Research, 74(3), 255–316. https://doi.org/10.3102/00346543074003255
- Sahlberg, P. (2015). Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? New York: Teachers College Press.
- Darling-Hammond, L. (2006). Powerful Teacher Education: Lessons from Exemplary Programs. San Francisco: Jossey-Bass.
Transformasi pendidikan dimulai dari kita. Sahabatnya siswa dalam belajar.