Pendidikan abad ke-21 menuntut pergeseran dari model pembelajaran tradisional menuju pendekatan yang lebih kontekstual, kolaboratif, dan mendorong keterampilan berpikir tingkat tinggi. Salah satu model pembelajaran yang menjanjikan adalah Project-Based Learning (PBL) atau pembelajaran berbasis proyek. Namun, apakah implementasi PBL di sekolah-sekolah kita telah benar-benar mencerminkan esensi sejatinya?
Studi oleh Markula dan Aksela (2022) mengungkap kenyataan bahwa banyak proyek di sekolah hanya menyentuh permukaannya saja. Melalui analisis terhadap 12 sekolah dari berbagai negara yang mengikuti program StarT LUMA Centre Finland, ditemukan bahwa meskipun proyek-proyek tersebut tampak aktif dan menarik, sebagian besar tidak memiliki driving question atau pertanyaan pemantik yang seharusnya menjadi inti dari PBL.
Inilah pengingat penting bagi kita: PBL bukan sekadar tentang membuat produk, tetapi tentang proses belajar yang terstruktur dan bermakna. Dalam praktik terbaiknya, terdapat enam karakteristik kunci yang harus hadir dalam setiap unit PBL—bukan sebagian, melainkan secara terpadu.
Pertama, pertanyaan pemantik (driving question) harus ada di awal. Pertanyaan ini bersifat terbuka, relevan dengan kehidupan nyata siswa, dan mampu menantang secara intelektual. Tanpa itu, proyek berisiko menjadi rangkaian kegiatan tanpa arah yang jelas. Sayangnya, dalam studi Markula dan Aksela, tak satu pun sekolah menyusun pertanyaan pemantik yang eksplisit.
Kedua, tujuan pembelajaran (learning goals) harus ditetapkan secara jelas—baik oleh guru maupun idealnya bersama siswa. Tujuan ini bukan hanya tentang membuat taman sekolah atau model rumah hemat energi, tapi juga mencakup capaian kognitif dan afektif yang terukur. Namun kenyataannya, tujuan yang ditetapkan seringkali hanya bersifat praktis, bukan tujuan belajar.
Ketiga, praktik ilmiah (scientific practices) menjadi jiwa PBL, terutama dalam pembelajaran sains. Siswa semestinya dilibatkan dalam merumuskan pertanyaan, membuat hipotesis, mengeksplorasi, menganalisis data, menyusun kesimpulan, hingga merefleksikan prosesnya. Fakta bahwa tidak satu pun siswa dalam studi tersebut membuat hipotesis menunjukkan betapa jauhnya kita dari esensi ini.
Keempat, kolaborasi (collaboration) yang bermakna menjadi ciri khas PBL. Ini bukan hanya kerja kelompok, tapi juga bisa melibatkan kolaborasi antar-guru lintas mata pelajaran, dengan komunitas, atau bahkan mitra industri dan perguruan tinggi. Dalam studi ini, kolaborasi banyak terjadi, namun masih minim arah dan dokumentasi yang jelas mengenai peran tiap aktor.
Kelima, penggunaan teknologi (technological tools) menjadi pendukung penting, baik dalam pencarian informasi, pemodelan, dokumentasi, hingga presentasi hasil. Namun, teknologi seringkali hanya digunakan sebagai media presentasi, bukan sebagai alat eksplorasi ilmiah.
Keenam, pembuatan artefak (artefact) harus menjawab pertanyaan pemantik dan mencerminkan proses berpikir siswa. Artefak tidak boleh hanya menjadi hiasan lomba atau tugas penilaian, tetapi harus menunjukkan pemahaman dan refleksi siswa terhadap topik yang diteliti. Banyak artefak yang ditemukan dalam studi tersebut hanya produk visual tanpa makna mendalam.
Fakta bahwa sebagian besar proyek dijalankan di luar waktu pelajaran dan tidak terkait langsung dengan kurikulum inti juga menandakan bahwa PBL belum diterapkan sebagai pendekatan utama pembelajaran. Ini sejalan dengan kecenderungan guru yang lebih fokus pada pengembangan nilai dan keterampilan sosial daripada penguasaan konten. Padahal, kekuatan PBL terletak pada kemampuannya menjembatani antara penguasaan konsep inti dan pengembangan keterampilan abad ke-21.
Jika keenam karakteristik kunci ini tidak hadir secara utuh, maka proyek di sekolah hanyalah replika aktivitas belajar—bukan proses belajar itu sendiri. Tanpa pertanyaan pemantik, tanpa tujuan pembelajaran yang jelas, tanpa proses ilmiah, kolaborasi bermakna, teknologi yang fungsional, dan artefak yang autentik, proyek hanya menjadi pekerjaan rumah yang dibungkus dengan narasi “kreatif”.
Lalu, ke mana arah kita selanjutnya?
Pertama, pelatihan guru harus fokus pada pemahaman mendalam tentang karakteristik PBL, bukan sekadar teknis pelaksanaan proyek. Butuh perubahan paradigma, dari guru sebagai pengendali menjadi fasilitator yang mendampingi proses eksplorasi siswa.
Kedua, kurikulum dan sistem penilaian perlu mendukung PBL sebagai pendekatan utama, bukan hanya alternatif. PBL seharusnya menjadi jalan utama untuk mencapai kompetensi dasar dan profil pelajar Pancasila, bukan pelengkap atau kegiatan ekstrakurikuler.
Ketiga, kemitraan antara sekolah dan universitas, dunia usaha, serta komunitas lokal perlu diperluas dan dimaknai secara pedagogis. Studi menunjukkan bahwa sekolah yang mendapat pendampingan dari perguruan tinggi mampu menampilkan lebih banyak karakteristik PBL secara utuh.
Akhirnya, kita semua harus menyadari: PBL bukan sekadar metode mengerjakan proyek, tetapi filosofi belajar yang memuliakan rasa ingin tahu dan kemampuan berpikir mandiri siswa. Mengutip kembali hasil studi tersebut, fokus utama PBL haruslah pada belajar, bukan sekadar mengerjakan proyek.
Saatnya kita tidak lagi terpukau oleh pameran hasil karya, tapi lebih menghargai proses berpikir kritis, eksplorasi ilmiah, dan refleksi diri. Hanya dengan cara inilah, pendidikan kita akan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga tangguh menghadapi kompleksitas dunia nyata.
Referensi
Markula, A., Aksela, M. The key characteristics of project-based learning: how teachers implement projects in K-12 science education. Discip Interdscip Sci Educ Res 4, 2 (2022).
Transformasi pendidikan dimulai dari kita. Sahabatnya siswa dalam belajar.