Gambar dibuat dengan AI

Geografi di Tengah Krisis Iklim: Ilmu yang Terpinggirkan, Padahal Paling Dibutuhkan

“Anak-anak kita tahu soal perubahan iklim, tapi tahu saja tidak cukup kalau kita tidak tahu bagaimana bersikap.” Kalimat itu saya baca dalam sebuah artikel pendidikan geografi karya Catherine Walker, akademisi Inggris, dan langsung mengendap di kepala. Sebab kenyataannya di banyak sekolah, pelajaran tentang perubahan iklim masih sekadar disampaikan lewat data suhu, diagram emisi gas rumah kaca, dan penjelasan tentang efek rumah kaca yang dihafalkan tanpa makna.

Padahal, perubahan iklim bukan sekadar soal angka dan fakta ilmiah. Ia adalah soal keadilan, soal siapa yang paling banyak berkontribusi merusak bumi dan siapa yang paling menderita akibatnya. Isu ini terlalu penting bila hanya diserahkan ke pelajaran IPA atau biologi. Dan di sinilah geografi seharusnya punya peran strategis.

Geografi: Ilmu Penjelas Dunia

Geografi adalah ilmu yang sejak awal mempelajari hubungan manusia dengan lingkungannya, dari aspek fisik hingga sosial. Ia bicara tentang banjir, migrasi, ketimpangan antar wilayah, hingga dampak bencana terhadap kelompok rentan. Maka wajar bila Joseph Onuoha dan timnya di Nigeria dalam riset tahun 2021 menemukan bahwa siswa yang belajar geografi memiliki tingkat kesadaran perubahan iklim lebih tinggi dibanding teman-temannya yang hanya belajar IPA, biologi, atau kimia.

Sayangnya, minat siswa terhadap geografi terus menurun di banyak negara. Nigeria, Inggris, hingga Malaysia mengalami hal yang sama. Padahal, di saat krisis iklim makin nyata, justru pelajaran inilah yang paling bisa membantu siswa memahami kerumitan persoalan lingkungan, sekaligus mengajarkan mereka cara bersikap.

Di Indonesia sendiri, kita tahu bahwa soal lingkungan dan bencana rutin masuk ke pelajaran geografi. Tapi seberapa banyak guru yang membahas krisis iklim sebagai isu sosial-politik dan keadilan, bukan sekadar data statistik? Berapa sekolah yang mengajak siswa memetakan risiko banjir di kampungnya atau mendiskusikan siapa yang paling terdampak polusi udara di kota mereka? Hampir tidak ada.

Saatnya Bicara Keadilan Iklim

Catherine Walker dalam riset terbarunya (2024) menyoroti bahwa pendidikan perubahan iklim di sekolah-sekolah selama ini terlalu fokus pada aspek sains. Akibatnya, siswa memahami perubahan iklim sebagai fenomena alam belaka, tanpa menyentuh soal ketimpangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan warisan kolonial yang berperan besar dalam krisis ini.

Walker melakukan riset di sekolah-sekolah di Manchester dan Melbourne, khususnya di komunitas pelajar migran. Ia menemukan, anak-anak dari latar belakang keluarga migran punya kepedulian berbeda. Mereka ingin tahu bagaimana perubahan iklim berdampak ke kampung halaman mereka di Afrika atau Asia, bukan sekadar statistik global. Mereka ingin bicara tentang siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana dunia mesti bersikap.

Inilah yang disebut climate justice — gagasan bahwa perubahan iklim bukan hanya soal suhu bumi yang naik, tapi soal siapa yang paling merasakan dampaknya, siapa yang selama ini disisihkan dari pengambilan keputusan, dan siapa yang harus dilibatkan.

Sayangnya, pendidikan kita nyaris tidak pernah menyentuh soal ini.

Wicked Problem, Wicked Education

Jerry T. Mitchell, dosen geografi di University of South Carolina, menyebut perubahan iklim sebagai wicked problem, masalah pelik yang tak punya solusi tunggal, selalu memunculkan dilema, dan melibatkan banyak kepentingan. Masalah jenis ini, menurut Mitchell, tak bisa dipecahkan dengan pendekatan linier seperti di pelajaran IPA. Diperlukan pendekatan interdisipliner yang bisa menjembatani sains, ekonomi, budaya, politik, dan etika.

Geografi, katanya dalam artikel Wicked from the Start (2023), adalah disiplin yang paling siap menjalankan peran itu. Sayangnya, geografi justru kerap terpinggirkan dalam kurikulum modern yang terlalu STEM-sentris: lebih mementingkan sains, teknologi, matematika, dan mengabaikan ilmu sosial. Padahal, perubahan iklim bukan hanya soal suhu atmosfer, tapi soal konflik agraria, kemiskinan, migrasi iklim, bencana, ketimpangan pangan, dan akses ke sumber air.

Pelajaran dari Sekolah-sekolah Dunia

Perubahan perhatian terhadap perubahan iklim dalam pendidikan memang meningkat drastis sejak 2017. Steve Puttick dari University of Oxford mencatat dalam laporan Progress in Human Geography (2025), jumlah artikel riset pendidikan iklim melonjak hingga empat kali lipat dibanding awal dekade 2000-an. Meski begitu, masih ada jurang besar antara diskursus akademik, kebijakan kurikulum, dan praktik di kelas.

Di Inggris misalnya, kurikulum nasional tak mewajibkan anak belajar soal dampak sosial dan keadilan dalam perubahan iklim. Hal serupa juga terjadi di Amerika, Australia, dan sebagian besar negara berkembang. Kurikulum lebih fokus pada data ilmiah dan solusi teknologi ketimbang membahas ketimpangan global.

Menghubungkan yang Global dan yang Lokal

Sirpa Tani dari University of Helsinki mengingatkan bahwa pendidikan perubahan iklim tak boleh melulu bicara pemanasan global sebagai fenomena jauh. Ia harus dikaitkan dengan pengalaman keseharian siswa. Banjir bandang di desanya, harga beras yang naik, musim kemarau yang memendek, polusi udara yang makin parah. Di situlah pelajaran geografi mestinya hidup.

Geografi bisa membantu siswa memahami bahwa persoalan perubahan iklim di kampungnya terhubung dengan peristiwa global, kebijakan politik, perdagangan internasional, dan sejarah kolonial. Pendidikan geografi, menurut Tani (2022), seharusnya bukan sekadar soal peta dan cuaca, tapi juga membekali anak-anak muda dengan powerful disciplinary knowledge — pengetahuan yang membuat mereka bisa memahami dunia secara kritis dan bertindak di dalamnya.

Sekolah Harus Berpihak

Krisis iklim adalah persoalan generasi. Jika sekolah hanya mendidik anak-anak jadi paham data iklim tanpa membekali mereka dengan sikap, nurani sosial, dan kemampuan berpikir kritis, maka pendidikan kita gagal.

Geografi, dengan kekuatan multidisiplinernya, bisa jadi tulang punggung pendidikan perubahan iklim yang adil. Tapi itu hanya bisa terjadi jika kurikulum membebaskan guru untuk mengajarkan topik-topik kritis, memberi ruang bagi siswa bertanya, dan melibatkan mereka dalam riset sederhana di sekitar lingkungan mereka.

Di tengah krisis iklim yang makin genting, sekolah tak bisa netral. Ia harus berpihak — pada bumi, pada keadilan, dan pada masa depan generasi muda.

Referensi:

Onuoha, J., Eze, E., Ezeaputa, C. M., Okpabi, J. U., & Onyia, J. C. (2021). Does learning geography increase climate change awareness? A comparison of school subjects’ influence on climate change awareness. Journal of Geography, 120(4), 140–151. https://doi.org/10.1080/00221341.2021.1949027

Walker, C. (2024). What role for geography in justice-focused climate change education? Geography, 109(3), 145–152. https://doi.org/10.1080/00167487.2024.2395177

Mitchell, J. T. (2023). Wicked from the start: Educational impediments to teaching about climate change (and how geography education can help). Education Sciences, 13(12), 1174. https://doi.org/10.3390/educsci13121174

Puttick, S. (2025). Geographical education III: Changing climate, changing geographies, changing geographical education? Progress in Human Geography, 49(2), 227–235. https://doi.org/10.1177/03091325241313467

Tani, S. (2022). Climate change and geography education: Could young people’s geographies and powerful disciplinary knowledge make a change? In R. Morri, D. Pasquinelli d’Allegra, & C. Pesaresi (Eds.), Il cammino di un geografo, un geografo in cammino: Scritti in onore di Gino De Vecchis (pp. 160–172). Franco Angeli. https://series.francoangeli.it/index.php/oa/catalog/book/831

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *