https://therainforestsite.greatergood.com/clicktogive/trs/petition/ClimateCensorship

SISTEM AMONG UNTUK SENSOR MANDIRI

Dunia pendidikan di Indonesia mempunyai tujuan yang sangat mulia. Tujuan pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 2 yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan tersebut mengandung arti bahwa keberhasilan pendidikan di Indonesia dinilai dari kemampuan, watak, kecerdasan peserta didik. Konsekuensi yang harus ditanggung oleh warga negara Indonesia yang terlibat dalam dunia pendidikan agar tujuan tersebut tercapai ialah menyiapkan sistem pendidikan, kurikulum, dan segala macam hal agar tujuan pendidikan tercapai.

Guru merupakan garda tedepan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Guru merupakan pihak yang secara langsung berinteraksi dengan peserta didik. Hubungan antara guru dan peserta didik perlu dibina agar tujuan pendidikan nasional tercapai. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa guru harus berperan “ing ngarsa sung tuladha,
ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani”
.

Melalui peran tersebut diharapkan seorang guru harus mampu menyesuaikan diri terhadap peserta didik, bukan sebaliknya. Hal ini perlu dilakukan karena obyek dalam pendidikan nasional adalah peserta didik sedangkan guru merupakan bagian dari subyek pendidikan.

Tujuan utama pendidikan nasional kita bukanlah hal yang bersifat keilmuan atau hal-hal ilmiah. Pendidikan kita berujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peserta didik dengan kata lain pendidikan kita bertujuan untuk membentuk karakter peserta didik. Istilah yang dipakai Presiden Joko Widodo ialah “Revolusi Mental”.

Selama ini kita melakukan penilian dan evaluasi yang sangat condong terhadap hal-hal ilmiah dengan mengesampingkan pembentukkan karakter peserta didik. Peserta didik tidak jarang merasa tertekan karena harus mencapai batas nilai tertentu dalam setiap mata pelajaran, sehingga melakukan cara-cara yang tidak terpuji untuk mencapai batas nilai tersebut.

Permasalahan orientasi pendidikan kita yang mengesampingkan pembentukkan karakter akhir-akhir ini mendapatkan perhatian dari masyarakat dan pemerhati dunia pendidikan. Berbagai seminar dan kemunculan buku tentang pendidikan karakter terus membuka mata pelaku pendidikan nasional.

Diharapkan hal tersebut akan semakin menguatkan semangat para guru untuk kembali merenungkan kemudian bertindak dan berperan serta dalam mengembangkan dan membentuk watak (karakter) peserta didik.

Peserta didik yang sekarang ini sering dimasukkan sebagai masyarakat generasi Z karena penguasaan teknologi yang mumpuni, bahkan terkadang lebih handal dari para guru. Memberi konsekuensi bahwa guru bukanlah sumber pendidikan karakter yang utama bagi peserta didik.

Peserta didik terkadang memiliki idola yang lebih mereka anut daripada para gurunya, yaitu tokoh-tokoh film. Guru tidak boleh menutup mata pada hal ini, karena tanggung jawab guru tidak hanya saat peserta didik di kelas tetapi juga di luar kelas. Maka dari itu perlu peran guru sebagai pembimbing peserta didik, agar menonton film sesuai usia.

Metode pengajaran dan pendidikan yang dapat digunakan untuk membimbing peserta didik agar menonton film sesuai usianya ialah “sistem among” yang dikembangkan Ki Hajar Dewantara. Sistem ini menggabungkan tiga unsur (asah, asih, dan asuh) dari guru terhadap peserta didik. Metode ini meliputi: kepala, hati dan panca indera (educate the head, the heart, and the hand). Penerapan metode tersebut dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut ini:

Pertama, guru sebagai pendidik (asah) dalam rangka melatih peserta didik untuk melakukan sensor mandiri terhadap film. Guru dalam hal ini ialah sebagai pendidik yang mengajarkan dan mendidikan tanda-tanda yang ada di film yang sudah umum digunakan.

Contoh: apabila dalam sebuah film terdapat tanda “17+” maka anak-anak usia sekolah tidak boleh menonton film tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui model pembelajaran picture and picture, guru dapat menggunakan power point untuk menunjukkan judul film beserta gambar tanda yang ada.

Siswa diminta memilih mana film yang boleh mereka tonton dan mana yang tidak boleh mereka tonton. Melalui hal yang sederhana ini diharapkan peserta didik terlatih dan terbiasa untuk melakukan sensor secara mandiri.

Kedua, guru sebagai pengasih (asih) dalam rangka membantu peserta didik untuk melakukan sensor mandiri terhadap film. Dalam langkah ini guru berperan dalam membantu peserta didik memilih film-film yang cocok untuk mereka.

Sesekali guru juga harus memberi saran kepada peserta didik agar menonton film tertentu. Film yang dipilihkan oleh guru hendaknya dapat dijadikan sebagai standar mutu dan konten yang sesuai dengan perekmabangan anak didik.

Ketiga, guru sebagai pengasuh (asuh) dalam rangka mengawasi peserta didik untuk melakukan sensor mandiri terhadap film. Layaknya seorang pengasuh guru dapat berperan serta mengawasi peserta didik dalam menonton film. Hal ini dapat dilakukan dengan kegiatan nonton bareng antara guru dan peserta didik.

Disamping itu pengecekan gawai milik peserta didik secara rutin oleh guru juga perlu dilakukan. Dalam hal asuh ini guru juga perlu melakukan evaluasi melalui diskusi mengenai film-film yang peserta didik lihat.

Setelah itu apabila ada kesalahan (peserta didik menonton film yang bukan seusianya) guru harus mengingatkan kembali bahwa hal demikian itu kurang baik untuk peserta didik, disamping melanggar norma masyarakat dan agama.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *