GEOSAINS DALAM ZONASI SEKOLAH

Zonasi Sekolah
Gambar 1. Central Place Theory
Sumber: https://en.wikipedia.org

Zonasi sekolah pada Tahun 2019 ini dilaksanakan berdasarkan Permendikbud No 51 Tahun 2018. Pada Pasal 3 berisi tujuan dibuatnya Permendibud ini, yaitu: (1) mendorong peningkatan akses layanan pendidikan; (2) digunakan sebagai pedoman bagi kepala daerah untuk menetapkan zonasi sesuai kewenangannnya, dan pedoman bagi kepala sekolah dalam melaksanakan PPDB.

Prinsip dari penerapan zonasi ialah mendekatkan domisili peserta didik dengan Sekolah. Dalam hal ini daerah mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan pembagian zonasi sekolah.

Dengan catatan (kewajiban); memperhatikan daya tampung dan jumlah anak usia sekolah pada tiap jenjang; memastikan semua wilayah administrasi masuk dalam penetapan zonasi.

Jika disimpulkan, permendikbud tersebut memberi wewenang yang sangat luas bagi masing-masing daerah untuk menetapan zonasi dengan memperhatikan aturan mengenai kriteria, pembagian zona, dan pendataan siswa di setiap zona.

Tujuan dari Pemerintah Pusat yang sangat mulia, yakni peningkatan akses layanan pendidikan atau kalau dalam bahasa Mendikbud ialah pemerataan kualitas pendidikan, dan menghilangkan dikotomi sekolah favorit dan tidak favorit. Namun sistem zonasi ini akan menjadi bencana pendidikan jika daerah melaksanakan dengan serampangan.

Tujuan tersebut diilhami dari arahan Presiden Joko Widodo tentang pemerataan pendidikan  “Semua sekolah harus jadi sekolah favorit”.

Masalah yang Muncul dalam Zonasi Sekolah

Masalah pertama, sebagian daerah masih melaksanakan zonasi hanya berdasarkan jarak. Luthfi Muta’ali seorang Dosen Geografi dari UGM mengatakan, “Zonasi yang berdasarkan jarak, berarti menyederhanakan masalah, menyepelekan kompleksitas permasalahan.”

Masalah yang muncul dari zonasi yang seperti ini ialah ada sekolah yang kelebihan pendaftar, dan ada sekolah yang sangat minim pendaftar.

Masalah kedua, sebagian daerah masih melaksanakan zonasi hanya berdasarkan pembagian administratif. Hal ini memunculkan masalah adanya pemalsuan surat domisili.

Beruntung sekarang Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) tidak dijadikan syarat wajib bagi pendaftaran sekolah agar diterima, pada tahun 2017-2018 yang lalu, menimbulkan pembuatan SKTM fiktif secara berjamaah. Tujuan yang baik dari permendikbud tersebut malah membunuh salah satu roh dunia pendidikan, yakni kejujuran.

Masalah ketiga, sebagian daerah belum melaksanakan pendataan siswa secara baik. Masalah ini termasuk masalah data kependudukan yang masih menjadi sebuah misteri di negara kita, bahkan seringkali data kependudukan di tiap-tiap instansi dalam satu daerah berbeda-beda isinya.

Begitu pula di tingkat pusat, tidak jarang data kependudukan di Badan Pusat Statistik (BPS) berbeda dengan data kependudukan di Kementerian Dalam Negeri. Mengenai data kependudukan, ini menjadi Pekerjaan Rumah yang sangat krusial bagi seluruh pemangku kebijakan di negeri ini.

Solusi Zonasi Sekolah Melalui Geosains

Seorang Geograf (ahli geosains bidang geografi) pasti mempertimbangkan kompleksitas masalah dan karakter wilayah dalam proses penyusunan zonasi.

Solusi bagi masalah-masalah tersebut ialah membagi zonasi tidak hanya berdasarkan administratif dan jarak, serta harus memperhatikan jumlah anak usia sekolah.

“Membagi sebuah wilayah kedalam beberapa zona-zona itu ada ilmunya, tidak bisa asal-asalan dengan kabupaten dibagi beberapa kecamatan, kecamatan dibagi beberapa desa.” (Luthfi Muta’ali).

Geograf bisa menggunakan Central Place Theory milik Walter Christaller. Marsden (1977) menyatakan jika diterapkan pada dunia pendidikan (zonasi sekolah), teori ini menempatkan lembaga pendidikan (sekolah) sebagai ‘lokasi pusat’ untuk wilayah yang menyediakan layanan bagi anak usia sekolah di daerah yang dilayaninya. Dengan asumsi populasi tiap-tiap daerah, memiliki distribusi yang seragam dan kemudahan perjalanan (aksesibilitas) yang sama.

Gambar 2. Contoh CPT dalam Pendidikan
Sumber: Marsden, 1977

Bagi dunia pendidikan yang berupa bidang pelayanan jasa, teori ini juga harus memperhatikan faktor-faktor lokal seperti topografi, sejarah perkembangan pendidikan di suatu daerah, serta perkembangan teknologi.

Pada intinya penggunaan teori ini dalam zonasi sekolah perlu memperhatikan beberapa faktor yang akan dijadikan dasar pembagian zona sekolah, sehingga pembagian zona sekolah harus dilakukan secara terencana dan tidak serampangan. Setiap daerah beserta segala atributnya harus dilihat melalui sudut pandang keruangan (spasial).

Hal ini dapat dilakukan dengan cepat dan tepat dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografi (SIG).

Melalui SIG tiap-tiap daerah dapat memasukkan setiap indikator (atributnya) untuk selanjutnya dibuat harkat, berdasarkan bobot yang sudah ditentukan. Selanjutnya data-data atribut yang telah diberi harkat tersebut dijadikan beberapa peta, seperti peta persebaran penduduk usia sekolah, peta lokasi sekolah, peta jalan, dan lain-lain.

Gambar 3. Peta Zonasi Sekolah hasil SIG
Sumber: http://proximityone.com/saz.htm

Kemudian peta-peta tersebut dioverlaykan (tumpang susunkan), dan diperoleh peta zonasi sekolah yang dapat dijadikan dasar kepala daerah menyusun petunjuk teknis pelekansanaan zonasi sekolah.

Daftar Bacaan:

Luthfi Muta’ali. Kisruh Sistem Zonasi PPDB (Tinjauan Geografis)

Marsden. 1977. Historical Geography and the History of Education. History of Education: Journal of the History of Education System, Volume 6; No 1. 21-42.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *